Surabaya : Jln. Raya Jemursari 234 & 244. Surabaya. Telp: 031- 8480821-22. Hp: 0813 3200 3300 ; PIN BB: 27ECEFD1 - 2BAE0E95. INFO MESIN: 085854833381. PIN BB: 3159B656
Jakarta: Komplek Ruko BSD Sektor 7. Blok RL 31-32-33. Serpong - Tangerang
Telp : 021 031-53151389. HP: 081318230199. PIN BB: 2A8798AE

Kursus di Surabaya

Pages

Minggu, 30 Agustus 2015

Sang Profesor

Figur:
“Sang Profesor” dan Orgen Itu…

          SIANG itu, suasana lobi kampus Majapahit Tourism Academy (MATOA) ramai sekali. Para mahasiswa berpakaian seragam ala chef profesional: baju putih berpadu bawahan warna gelap pada ngumpul. Mereka istirahat, setelah setengah hari menimba ilmu. Ada yang bercengkerama di pilar gedung yang dilingkari kursi santai. Tak sedikit pula yang menyatu dalam meja makan yang tersedia di café kampus.

          Di tempat yang sama, tampak, pria berpakaian rapi berbaur di antara para mahasiswa. Sesekali, dia melihat handphone di tangannya, sembari melirik tamu yang datang. “Apa kabar profesor,” sapa seorang wanita paruh baya. Pria berkacama minus itu menjawabnya dengan ramah sembari melempar senyum. “Puji Tuhan, kabar baik,” ucap pria yang membalut tubuhnya dengan kemeja bergaris vertical warna terang ini.

          Ya, begitulah keseharian Ir Juwono Saroso, Presiden Direktur Tristar Group. Kendati posisinya sudah menjadi pimpinan, dia enggan duduk manis di ruang kerjanya, yang berada di lantai dua. “Setiap hari saya harus face to face sama mereka. Biar saya tahu keluhannya dan kekurangan kita apa saja,” ucapnya kalem. Dan, kepedulian inilah yang membuat mahasiswa, serta para dosen dan pegawainya merasa nyaman tinggal di Graha Tristar, yang bertengger di Jalan Raya Jemursari 234.

          Saat disinggung soal sebutan “profesor” oleh orang tua mahasiswa tadi, Juwono menyebut gelaran itu disandangnya sejak masa sekolah. Maklum, sejak menamatkan studinya di Fakultas Kimia (MIPA) Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS), dia memang belum lagi meneruskan karir akademisnya.  “Mulai temen sampai pendeta pada bingung, saya dikira profesor tenanan (beneran, red),” aku alumnus SMA St Louis Surabaya ini, lantas tersenyum.

          Sebutan profesor tersebut, sebenarnya bukan tanpa alasan. Di lingkungan teman sekolah dan kuliahnya, Juwono memang dikenal cerdas, kreatif dan inovatif. Dia bukan hanya menguasai mata pelajaran dan kuliah, juga selalu menjadi bintang di kelasnya. Selain itu, dia juga gigih dan ulet dalam mengarungi perjalanan hidup.
          Hal itu dirasakan Dokter Conny. Pemilik Klinik Kecantikan Naomi di Jalan Raya Tenggilis 68/S-7 Surabaya ini adalah sahabat sejati Juwono. Ada kenangan yang sulit mereka lupakan saat ujian akhir nasional (Ebtanas). “Saat itu kami dapat bocoran soal bahasa Inggris. Tapi teman-teman tidak bisa menjawab. Akhirnya kami minta bantuan profesor. Hasilnya, nilai bahasa Inggris kami baik semua, hehehe.. nilai kami rata-rata 9,” kenang Conny yang masih energik ini.

          Karena itulah, di kalangan teman-temannya, Juwono selalu dipanggil profesor. “Dia paling pinter. Penampilannya juga sudah seperti profesor beneran. Mulai dandanan rambut, kacamatanya tebal dan sepeda motornya antik,” ujar dokter umum yang kini nekuni dunia bisnis.

          Bakat Entrepenuership  Juwono sendiri mulai nampak sejak kecil. Dia mengenal dunia usaha lewat ibundanya yang memproduksi kue Kuping Tikus. Jajanan ringan ini dia pasarkan dengan menitipkan ke ibu-ibu mlijo di daerah Pandegiling Surabaya. Meski sibuk jualan, aktivitas Juwono sebagai siswa Sekolah Dasar tidak terganggu.

          Melihat peluang usaha jual kue Kuping Tikus sulit berkembang, Juwono mulai melirik peluang lain. Ibunya yang pernah menjadi guru les musik orgen dirayu agar kembali ke dunia. Pas, ada arisan sepeda motor,”Ibu ikut,” kenang Juwono. “Tapi waktu dapat betotan (narik arisan) uangnya tidak kami belikan sepeda motor. Kami belikan orgen yang harganya sama dengan harga sepeda motor waktu itu. Apalagi lagi booming-boomingnya orang beli orgen,” imbuhnya bercerita.

          Nah, dari sinilah awal Juwono belajar memainkan orgen. Kebetulan dealer penjual orgen memberi garansi kepada pembelinya untuk belajar gratis. Kesempatan ini tidak disia-siakan keluarganya. Meski untuk ukuran pemula usianya sudah kelawat umur, Juwono tak ambil pusing. “Yang paling bagus itu belajar mulai umur empat tahun. Lha saya sudah kelas tiga es-em-pe baru belajar. Jadinya, ya harus mati-matian melemaskan jari-jari yang terasa kaku,” akunya.

          Bak gayung bersambut. Kemauan yang tinggi belajar musik itu tidak bertepuk sebelah tangan. Juwono pun akhirnya menuai hasil. “Saya sering tampil solo dan konser di acara sekolah SMA,” ujarnya. Juwono juga tak jarang dapat undangan main di mall-mall dan acara hajatan teman dan sekolahnya. Dari sinilah dia mulai mendapatkan murid. “Selain ngelesi privat murid-murid itu, saya cari sambilan jadi sales orgen. Lumayan, untuk satu orgen yang terjual, saya dapat tiga persen,” kenangnya.

          Bukan hanya orgen baru yang dia jual. Orgen bekas yang harganya lebih miring juga dijualnya. “Kalau ada murid yang orgennya sudah tidak bagus, saya suruh ganti yang lebih baik, biar tambah enak suaranya. Kalau dia punya harga yang satu jutaan, saya suruh beli yang seharga lima jutaan. Lha, harga orgen terbaik waktu itu sepuluh jutaan,” akunya.

          Agar pendapatannya meningkat, Juwono juga menjual buku lagu-lagu dan panduan main musik. Tapi buku yang dipasarkan bukan buku baru atau original. “Buku-buku itu saya fotokopi dan saya jilid persis buku aslinya. Hasilnya lumayan hehehe…,” ceritanya.
          Sejak itu perekonomian keluarganya mulai membaik. Kelebihan penghasilannya bisa dipergunakan untuk kuliah, beli mobil dan kursus bahasa Inggris. Namun sayangnya, Juwono tidak mulus di keahliannya itu. Cita-citanya ingin menjadi pemusik orgen kandas lantaran dicurangi pengelola sekolah musik yang menjadi rival sekolahnya.

           “Saat itu saya bersamangat untuk juara dan bermimpi sampai tingkat dunia. Tapi impian ini kandas,” akunya. Sata mewakili Sekolah Musik Irama Mas di Tingkat Indonesia Wilayah Timur dalam Yamaha Electon Festival Indonesia di Hotel Hyatt. Syarat? Masing-masing sekolah musik harus mengirimkan pemusik terbaiknya. “Ternyata dilanggar YMI (Yamaha Musik Indonesia) yang berkantor pusat Jalan Citarum Surabaya itu. Dia mengirim dua wakilnya, dan keduanya dimenangkan, sehingga saya yang mendapat juara ke 3 tidak katut ke babak Nasioal di Jakarta” kenangnya.

          Juwono pun patah arang. “Saya gelo, muangkel (kecewa berat) sekali karena yang menang langsung mewakili nasional di Jakarta , selanjutnya tingkat Dunia diToronto Kanada. Eeh.. tibak-e (ternyata) orang yang sudah belajar mati-matian kalahe karo wong sugih (punya uang). Wis kalau gitu saya harus sugih dan banyak uang dari main elekton, gak usah ikut kejuaraan-kejuaraan,” keluh Juwono hingga matanya berkaca-kaca.

          Kendati kecewa berat, bapak tiga anak ini tidak putus asah. Kepiawaiannya di bidang musik ini tetap dia tanamkan kepada dua putrinya. Putri pertamanya Fiona Angeline Juwono, yang sudah duduk di bangku kelas tiga SMP Santa Maria Surabaya dan Cindy Octavia Juwono, kelas empat SD Vita Surabaya sudah bisa bermain musik Piano. Bahkan, tahun lalu kedua putrinya pernah diikutsertakan dalam lomba music di Singapura dan berbagai lomba di Surabaya dan Jakarta.



           “Sengaja saya ajari main Piano & Elekton agar sejelek-jeleknya nanti, mereka bisa mencari uang dari musik ini. Minimal jari guru les privat musik lah,” katanya. Juwono sendiri sampai kini masih aktif sebagai orgenis di Gereja Santo Yakobus Purimas, Rungkut Surabaya. “Malam Natal (25 Desember 2013) saya turut mengiringi koor malam Natal,” Juwono bangga, lantas tersenyum. (amu)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar